Jumat, 17 Juli 2015

Memaknai Tradisi Mudik Sebagai Peristiwa Sosial dan Spiritual

Seminggu sebelum memasuki bulan Ramadhan 1434 H, saya dan teman-teman HMI melangsungkan kegiatan di Wisma HMI Bontolempangan No. 39 Makassar, dengan tema “Menyemai Khasanah Intelektual Islam”, dalam rangka menjemput semangat bulan suci Ramadhan melalui majelis ilmu.

Pada penghujung kegiatan, hampir semua peserta bersiap-siap untuk kembali kekampung halaman. Saya pun bertanya kepada beberapa orang diantara mereka, kenapa kamu pulang kampung? Ada yang menjawab, saya mau pulang agar melewati puasa pertama bersama keluarga, ada yang menjawab saya mau ikut ziarah kubur dan bersilaturrahmi dengan keluarga di kampung, ada juga yang menjawab oleh karena kerinduannya yang mendalam kepada ayah, ibu, kakak, dan adik-adik serta keluarganya dikampung, adapula yang ingin mencari ketenangan, kedamaiaan dan kebahagian, serta banyak lagi model jawaban lain yang substansinya sama pada sisi maknawiah.

Dari sini kita mendapat gambaran bahwa pulang kekampung halaman atau kota kelahiran merupakan peristiwa yang sangat menakjubkan dengan motifasi yang sangat beragam. Peristiwa kembali kekampung atau disebut juga “tradisi mudik” sebagai Peristiwa yang penting dalam kehidupan. Ini tentunya memiliki keberkahan dan efek sosial dalam banyak aspek kehidupan, baik dalam konteks ekonomi, politik, budaya dan hal-hal lainnya dalam tata ruang kehidupan Keluarga, Masyarakat, Bangsa dan Negara.

Dengan demikian kembali kekampung menjadi peristiwa yang sangat istimewa, namun patut disayangkan, karena pada saat yang bersamaan terjadi berbagai peristiwa seperti kecelakaan lalu lintas yang berujung di Rumah Sakit bahkan mengalami kecelakaan maut yang merengguit nyawa hingga harus kembali ke kharibaan Sang Ilahi serta terjadi pula musibah lainnya dalam prosesi mudik.

Meskipun terjadi berbagai peristiwa negatif yang cukup mengerikan, kelihatannya tidak menyurutkan semangat para pemudik untuk kembali kekampung halaman atau kota kelahirannya untuk berjumpa dan berbagi kasih sayang serta kebahagiaan dengan keluarga terkasih di kampung halaman atau di tanah kelahiran.

Menjejaki Makna Tradisi Mudik

Pada umumnya Tradisi dimaknai sebagai kebiasaan, karena kebiasaan manusia melembaga dalam bentuk tradisi. Namun lebih dari itu bahwa dasar kebiasaan manusia (hamba) adalah beribadah yakni mengabdi atau melakukan penyembahan kepada Tuhannya, sehingga dalam konteks ini tradisi dapat dimakanai sebagai “sebuah respon terhadap yang suci (sacre)”.

Tentunya cara dan praketek atas dasar tradisi (respon terhadap yang suci), terlihat sangat variatif dalam berbagai fenomena kehidupan, utamanya dalam hubungannya dengan kepecayaan dan keyakinan terhadap sesuatu yang tak terbatas yakni Realitas Tertinggi. Sementara itu, istilah mudik berasal dari kata udik yang berarti hulu atau asal, begitu juga dengan istilah kampung memiliki arti yang sama yakni asal. Kemudian Istilah mudik ini dapat diuraikan dalam dua pendekatan secara maknawiah yang sangat berkaitan yakni:

Pertama,Mudik bermakna pulang/kembali kekampung halaman/asal. Kedua, Mudik bermakna pulang/kembali secara rohani yakni kita kembali untuk menemukan spirit.

Dalam hal “Tradisi Mudik” sesungguhnya melukiskan aktifitas manusia yang melakukan perjalanan pulang atau kembali kekampung halamannya, kembali ketempat asalnya, atau kembali ketanah tumpah darahnya. Peristiwa mudik (perjalanan kembali) ini dilakukan manusia yang hidup ditanah perantauan untuk berjuang mencari nafkah, menuntut ilmu atau telah berdomisili di Negeri orang tersebut untuk kembali ke“rumah”nya.

Peristiwa mudik dilakukan dalam rangka bertemu dengan sanak keluarga untuk melepas kerinduan, berbagi kasih sayang dan kebahagiaan. Perwujudan dari sebuah kekuatan dan dorongan untuk mudik memberikan isyarat adanya ruang makna kesadaran eksistensial manusia untuk melakukan perjumpaan dengan asal mulanya (fitrahnya). Kebiasaan ini pada umumnya dilakukan masyarakat Indonesia menjelang hari-hari besar keagamaan, khususnya pada momentum perayaan hari besar Idhul Fitri dan Idul Adha.

Dari gambaran tersebut dapatlah dikatakan bahwa Mudik melukiskan makna Perjalanan kembali kerumah, kembali kedaerah asal, kembali kekota kelahiran, kembali ketanah tumpah darah, kembali kampung halaman, atau kembali kepada asal mula yakni fitrah kemanusiaan. Tradisi mudik ialah suatu cerminan kesadaran eksistensial manusia tentang asal-usulnya, juga mencerminkan adanya suatu kerinduan yang mendalam untuk berjumpa pada hakekat asal-usulnya itu. Dengan demikian tradisi mudik bukan hanya sebuah persitiwa sosial tetapi lebih dari itu adalah cerminan gerak menuju makna transenden (peristiwa spiritual) yang lebih dalam sebagai latar lain dari tardisi mudik.

Menemukan Dimensi Sosial Dan Spiritual

Sekilas telah dikemukakan arti penting tradisi mudik, bahwa pada makna yang pertama (Mudik bermakna pulang/kembali kekampung halaman/asal), mengilustrasikan sebuah perjalanan pulang kekampung halaman atau kota kelahiran. Pada perjalanan pulang atau kembali itu, tentunya para pemudik ada yang melakukan perjalanan melalui jalur transportasi darat (mobil, motor, kereta, dll), jalur transportasi udara (pesawat), dan jalur transportasi laut (Kapal atau Perahu).

Perjalanan kembali itu membentuk sebuah rangkaian pengalaman dan kebiasaan unik, kemudian jikalau dlihat dari dimensi psikologi sosial, deret pengalaman itu dapat berupa adanya kepanikan dan ketakutan akan keterlambatan dan ketinggalan mobil/Bis, ketinggalan kapal atau ketinggalan pesawat, deret antrian yang sangat berhipimtan dan berdesakan, bahkan terjadi pencopetan dan pencurian.

Tangis bayi, rintihan nene-nenek karena terjepit ketika membawa barang-barang sebagai buah tangan bagi keluaga dikampung, nenek itu akan tertolong dari antrian yang berdesakan itu jika ada yang saling menolong atau membantu. Pengalaman Tolong menolong seringkali terjadi meski belum saling kenal, namun karena adanya ikatan dan panggilan kemanusiaan sehingga ada yang terpanggil untuk tolong-menolong dalam kebaikan, serta ada berbagai pengalaman lainnya.

Pada saat berada dititik berangkat, Sanak Saudara yang ditinggalkan biasanya menyampaikan kata-kata yang sederhana berupa “hati-hati di jalan, titip salam untuk kelurga di kampung”. Pesan tersebut dapat disebut “petuah” agar kita menjaga diri dan terbangun kesadaran diri untuk meraih keselamatan hingga sampai kekampung halaman atau kota kelahiran serta sanak keluarga mendapatkan kedamaian, keselamatan dan kebahagiaan.

Ketika melewati perjalanan kembali dalam rangka mudik, biasanya kita berjumpa dengan para sahabat baru dan kerabat baru yang tidak disangka-sangka sebelumnya. Ikatan kekerabatan terbangun dan terpelihara lagi melalui proses interaksi sosial yang berlangsung dalam proses kembali kekampung halaman. Kemudian sesampai di kampung atau kota kelahiran, berjumpa pula dengan sanak keluarga dan handai taulan, ikatan kekeluaragaan dan kekerabatan di kampung kembali dirajut dan diekspresikan melalui jalinan silaturrahmi, ziarah kubur bersama, serta rangkaiaan acara syukuran berupa do’a-do’a sebagai ungkapan syukur atas kesuksesan dan keselamatan.

Rasa persaudaraan (sense of brotherhood) dan ikatan kekerabatan semakin ditingkatkan melalui berbagai media sosial yang tersedia. Media sosial dijadikan sebagai medan yang cukup strategis untuk melakukan perjumpaan, sehingga tercipta keharmonisan, ketertiban, keteraturan, ketentraman, keceriaan, dan kebahagiaan dalam rumah, di kampung halaman, di kota kelahiran, di tanah tumpah darah atau di rumah keindonesiaan.

Bagi sebagian pemudik yang sukses, mereka memberikan santunan dan bantuan kepada berbagai pihak yang membutuhkan, utamanya untuk pembangunan dan pemeliharaan rumah-rumah ibadah sebagai ungkapan syukur atas kesuksesan yang telah ia dapatkan dari proses kerjanya selama ditempat perantauan. Raingkaian peristiwa sosial kemanusiaan ini tentunya memiliki implikasi pada dimensi spiritual.

Pada muatan makna yang kedua(Mudik bermakna pulang/kembali secara rohani yakni kita kembali untuk menemukan spirit) melukiskan penegasan atas makna tradisi mudik pada bagian pertama. Uraian ini lebih pada dimensi psikis atau gerak spiritual manusia yang hendak melakukan perjumpaan dengan asal mula, perjumpaan dengan sesuatu yang suci (sacre) atau perjumpaan dengan fitrahnya, atau pada bagian yang lebih mendalam yakni melakukan perjumpaan dengan dengan Tuhan (Sang Khaliq). Untuk berjumpa dengan Tuhan, tentunya manusia harus bersumber pada kebenaran, karena pada dasarnya Kebenaran merupakan asal dan tujuan dari segala kenyataan dan kebenaran mutlak adalah Tuhan Allah SWT (Baca: NDP HMI).

Ada kalimat agung yang dilukiskan dengan sangat indah yakni kalimat Tauhid yang berbunyi “La Ilaha Illa Allah” (Tidak ada Tuhan selain Allah). Dalam Uraian Nurcholis Madjid “Kalimat ini mengandung makna peniadaan dan pengcualian. Perkataan “Tidak ada Tuhan” meniadakan segala bentuk kepercayaan sedangkan perkataan “Selain Allah” memperkecualikan satu kepercayaan kepada kebenaran.

Dengan peniadaan itu dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari berbagai belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai, itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam”.

Dia (Tuhan) yang awal dan yang akhir, yang lahir dan yang bathin (QS 57:3), sebagai yang pertama dan penghabisan, maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan dari segala yang ada, termasuk tata nilai. Artinya sebagaimana tata nilai harus bersumber pada kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepada-Nya, iapun sekaligus menuju pada kebenaran dan mengarah pada persetujuan atau ridha-Nya. Inilah kesatuan antara asal dan dan tujuan hidup yang sebenarnya, serta tidak ada dikothomo dalam konteks lahiriah dan bathiniah.

Berkenaan dengan perjalanan menusia untuk berjumpa dengan Tuhan dalam dimensi yang holistic telah dilukiskan dengan indah yakni“Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali”(QS 2:156)

Untaian ayat ini melukiskan peroses gerak seluruh mahluk menuju Tuhan. Maka dari itu,alam semesta bergerak secara terus-menerus (continue) tanpa henti, bergerak dengan penuh keteraturan sehingga tercipta harmoni dan tak ada benturan atau konlflik. Jika terjadi gerak melawan keseimbangan (keadilan) maka akan terjadi benturan yang menyebabkan kehancuran. Namun pada titik puncak nantinya semua akan bergerak menuju (Dia) sang pemilik dari segala pemilik dengan penuh kepasrahan.

Alam mencerminkan gerak yang memberikan isyarat akan adanya keteraturan dan keharmonisan, dengan demikian manusia juga dituntut untuk membangun sinergitas gerak seperti gerak kosmik (alam). Sungguh Manusia beregerak secara terus menerus, dan pilihan gerak dalam kehidupannya ialah bergerak mendekat kepada-Nya atau menjauh dari-Nya. Sementara itu, dalam hal kualitas kemanusiansangat ditentukan oleh pilihan merdeka manusia untuk bergerak, ketika manusia bergerak mendekat maka kualitas kemanusiaannya akan semakin meningkat serta akan sampai pada titik keutuhannya mendapatkan harkat dan martabat kemanusiaan menuju “insan kamil”.

Sebaliknya semakin manusia bergerak menjauh dari Tuhan akan menjadikan manusia semakin rendah, tak memiliki nilai dan harga diri. Gerak merupakan sebuah “lukisan kehidupan” yang ditandai dengan dinamisasi hidup dan semangat pembaharuanmenjadi modal yang sangat mendasar dalam mewujudkan sebuah tatanan kehidupan yang harmonis, aman, tentaram, damai, adil dan sejahtera ditengah alam dan masyarakat.

Dengan demikian tradisi mudik melukiskan dimensi sosial dan spiritual yang berhubungan erat antara keduanya serta memiliki implikasi positif dalam kehidupan manusia di tengah keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Hidup untuk berbagi cinta dan kasih sayang yang bersumber langsung Tuhan merupakan ekspresi tradisi mudik, utamanya pada bulan suci ramadhan hingga puncaknya pada perayaan Idul Fitri (kemenangan).

Mudik Untuk Meraih Jalan Kemenangan

Telah ditegaskaskan bahwa tradisi mudik merupakan peristiwa “kembali” yang melukiskan gerak material dan spiritual manusia menuju “asal mula” yakni sesuatu yang suci (sacre). Kesucian senantiasa ingin diraih oleh manusia agar dapat mengantarkannya menuju kualitas manusia sejati (Insan Kamil). Melalui mudik, kita berharap perjalanan kembali dilewati dengan selamat hingga tujuan.

Tentunya banyak hambatan, tantangan dan rintangan serta resiko besar yang tak terduga dalam melintasi perjalanan, sehingga dibutuh kesiapan moril dan material untuk mengatisipasi hal-hal yang tak diinginkan terjadi ketika berada dalam perjalanan. Kita senantiasa berharap dan memohon kepada Tuhan agar senantiasa memberikan arah dan petunjuk yang benar seperti dalam muatan firman Allah pada Qur’an Surat Al-Fatihah “Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau ridhai bukan jalan orang-orang yang sesat”.

Jalan yang benar atau jalan yang lurus merupakan pilihan utama, demikian halnya dalam peristiwa Haji. Pada dasarnya peristiwa Haji merupakan sebuah gambaran ikhtiar perjalanan manusia menuju Rumah Allah (Baitulllah). Ketika melangsungkan Haji, proses tawaf di ka’bah melukiskan perjalanan manusia yang kembali ke asal mula, dengan berjalan mengitari ka’bah atas dasar kesadaran ontologis dan perjalanan itu berlawanan dengan arah gerak jarum jam. Proses tawaf di ka’bah bergerak dari kiri ke kanan, sedangkan proses gerak jarum jam dari kanan mengarah kekiri. Kiri (left) dan kanan (right), serta terminology “right” dalam bahasa inggris dapat juga diartikan “benar”.

Istilah “benar” dalam bahasa arab yakni “haq”, sementara itu, Tuhan disebut dengan Al-Haq (Maha Benar), karena Dia (Tuhan) adalah pangkal dan sumber kebenaran. Dalam catatan sejarah, pernah ada seorang sufi besar yang hidup zuhud (penuh kesederhanaan), dan dikategorikan berpahaman “wahdatul wujud” (penyatuan dengan wujud Tuhan) bernama Al-Halaj mengucapkan “Ana Al-Haq” yang berarti “Aku adalah Tuhan” atau “Aku Maha Benar”, kata-kata itu telah membawanya ketiang gantungan dan wafat berhiaskan senyum yang terukir manis di wajahnya. Al-Halaj telah mengukir kisah yang tercatatat pada sejarah perjalanan dan pulangnya kepada Tuhan melalui peristiwa yang menakjubkan ketika akhirnya berada ditiang gantungan.

Perjalanan Manusia menuju Tuhan menjadi sebuah keharusan, akan tetapi Bagaimana mungkin manusia dapat melakukan perjalanan kembali/pulang jika tidak mengetahui asal usul yang menjadi tempat kepulangan? Tentu hal ini tidak mungkin. Manusia yang tahu asal usulnyalah yang selamat, manusia yang mengetahui asul usulnyalah yang dapat sampai ke tempat tujuannya, jika tidak, maka manusia itu akan tersesat dalam perjalanannya.

Baitullah dari sisi maknawiah melukiskan dimensi bathiniah dari rumah Allah, sementara ka’bah yang berbentuk kubus (Qa’ab) itu, melukiskan dimensi lahiriah yang tidak tertutup atap dan langsung menyambung dengan langit mengkondisikan perasaan kesatuan dengan semesta pada setiap tawaf, berputar mengikuti garis edarnya yang telah digariskan Tuhan. Bangunan ka’bah sangatlah sederhana, berbentuk kubus dan didalamnya tidak ada apa-apa, tetapi didalam kesederhanaannya itulah terdapat keagungan dan kemuliaan. Dengan demikian Allah telah memberikan tanda dan penanda agar manusia mendapatkan pengertian-pengertian dan pemahaman mendalam yang dapat mendukung peningkatan kualitas diri manusia dalam perjalanan mengarungi bahtera kehidupan di tengah alam semesta.

Manusia berpijak dan melakukan perjalanan di bumi menegaskan posisinya sebagai wakil Tuhan (khalifah). Perjalanan itu dapat dilukiskan secara sederhana untuk memahami bahwa “Bumi ini bagaikan bahtera dan manusia diangkut menjadi penumpang diatas bahetra yang bernama bumi, suatu waktu penumpang yang bernama manusia itu akan diturunkan dari bahtera karena telah dinyatakan selesai masanya sebagai penumpang dan bahteranya akan berlabuh diujung kehidupan manusia itu. Alam bagaikan rumah besar dan manusia bagaikan rumah kecil, lalu akan tumbuh kesadaran kosmologis dam bingkai persaudaraan kosmik”.

Rumah secara generic dimaknai sebagai tempat tinggal, dalam bahasa inggris rumah memiliki dua istilah yakni “House dan Home”. House dan home berarti rumah, namun jika diselami lebih mendalam istilah house bermakna rumah lahiriah dan home bermakna rumah bathiniah. Pada dasarnya “rumah sebagai tempat berteduh secara lahiriah dan tempat berling secara bathiniah”.

Artinya perjalanan manusia kembali (Mudik) kerumahnya merupakan sebuah ikhtiar untuk menciptakan dan mendapatkan keteduhan dan perlindungan, sehingga dalam rumah itu bersemayam cinta dan orang-orang yang ketika berada didalamnya merasakan dan mengekspresikan ketenangan, ketentraman, kedamaiaan, keharmonisan dan kasih sayang yang memuncak pada kebahagiaan yang utuh (lahiriah maupun bathiniah).

Rumah tidak sekedar dibangun dengan batu-bata yang nantinya gampang roboh karena kerapuhan dan bersemayam ketamakan, kesombongan dan keserakahan, namun rumah harus dibangun dengan “cinta dan kasih sayang” sehingga berdiri kokoh dan ditopang oleh pribadi-pribadi manusia yang tangguh, dengan kekuatan fitrah yang bersumber langsung dari Tuhan dan fitrah manusia itu yakni hati nurani memancarkan keinginan suci kepada kebaikan, kebenaran, keindahan, keadilan dan cinta-agama.

Agama adalah cinta (adinu bidinil hubb) kata Ibnu Arrabi, agama itu fitrah menurut Al-Qur’an, agama/keberagamaan-dalam hal ini Ketuhanan Yang Maha Esa-adalah fitrah manusia. Dalam konteks ini, Allah berfirman: "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QA Ar-Rum [30]:30).

Oleh karena agama merupakan fitrah. Maka agama tidak dapat dipisahkan dari manusia, hanya tingkatnya berbeda-beda. Cobalah sejenak hentikan hiruk-pikuk kesibukan dan lepaskan jiwa agar bisa mengembara bersama keluasan alam raya. Pasti akan ada dimana lahir dorongan untuk bertemu dan menyatu dengan satu kekuatan yang mahadahsyat di luar alam raya ini, disertai dengan keyakinan bahwa kepada-Nya-lah sumber dan muara segala sesuatu.

Demikian itulah fitrah keagamaan dalam hubungannya dengan manusia. Kalaupun sekarang ada orang yang belum merasakannya, maka pasti suatu ketika, paling tidak menjelang ruhnya terpisah dari tubuhnya-fitrah muncul sedemikian kuat dan jelas, seperti terlihat dalam kisah fir’aun yang ketika berada diujung maut yang menjemputnya, dia mengakui adanya kekuatan yang lain (Tuhan).

Ketika telah melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh, kehadiran Idul Fitri merupakan pesta kemenangan yang pantas disyukuri dan dirayakan. Kemenangan mengendalikan hawa nafsu dan keberhasilan melaksanakan perintah Ilahi. Oleh karena itu, Idul Fitri ialah acara keagamaan dan sekaligus perayaan sosial melalui mudik (kembali kekampung atau kota kelahiran).

Namun, sesungguhnya pesta Idul Fitri dengan ucapan “minal aidin wal faizin” baru mempunyai makna dan signifikansi bagi umat manusia yang telah berpuasa dengan sungguh-sungguh, sehingga pantas beroleh predikat sebagai golongan manusia yang menang dan mampu membuat transformasi hidup ke tingkat yang lebih baik dan senantiasa melakukan kebajikan bagi sesama.

Akhirnya perjalanan kembali manusia ke asal usul (fitrah) dihari yang fitri (suci), menjadikan manusia bagaikan bayi yang baru lahir, bersih, putih dan suci. Manusia yang dilahirkan kembali itu telah berada pada titik kesimbangan dan terhempas seluruh dosa-dosa selama menjalani hidup sebelumnya.

Kemudian melalui “mudik”, diharapkan ikatan keakraban dan kekerabatan dalam suasana persaudaraan dapat dirajut dan dijalin kembali dengan baik, suasana toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat menempati “ruang hidup” bagi manusia Indonesia ditengah kemajemukan, begitu pula dengan suasana kesucian, kesederhanaan, kedamaian, ketertiban, keharmonisan, dan kegembiraan dalam meraih jalan kemenangan dapat dirayakan dengan penuh khikmat dan diekspresikan dengan berbagi cinta dan kasih sayang yang diselimuti oleh kebahagiaan hakiki.

Penulis
Muhamad Yunus Anwar
Aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Badan Koordinasi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat
(Alamat: Jl Manuruki II Lr 2B Kota Makassar No. Hp. 085281429719)
Makassar 29 Juli 2013 M/20 Ramadhan 1434 H

0 komentar:

Posting Komentar

Ganti Bahasa

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jadwal Shalat

Daftar Isi

Diberdayakan oleh Blogger.